Wednesday 25 April 2018

Apakah Seni itu?

Melacak kata 'seni'

Kata 'seni' telah umum dipakai sebagai padanan kata Inggris art. Tetapi, kapankah sebenarnya kata seni itu mulai dipakai dalam pengertian tersebut? Kata seni berasal dari bahasa Melayu (atau Melayu-Tinggi untuk membedakannya dengan bahasa Melayu-Rendah di zaman kolonial), yang berarti 'kecil'. Pada tahun 1936,dalam sajaknya 'Sesudah Dibajak', Sutan Takdir Alisyahbana masih mempergunakan kata ini dalam pengertian kecil tadi (Sedih seni mengiris kalbu). Dan pada tahun 1941, Taslim Ali juga masih mempergunakan kata seni dalam pengertian 'kecil' dalam sajaknya 'Kepada Murai' (Hiburkan hati/Unggasku seni).

Tetapi, dalam majalah Pujangga Baru, 10 April 1935,dalam sebuah esai tulisan R.D., yakni 'Pergerakan '80', telah dipakai kata seni dalam pengertian seperti yang sekarang kita pakai,yaitu art. Dalam esai tersebut termuat kata-kata:


"Seni menjadi 'de aller-individueelete expressie van der individueelste emotie' (kelahiran yang sekhusus-khususnya dari perasaan yang sekhusus-khususnya). Seni tidak mempedulikan ukuran kesusilaan (ethics) lagi, tidak ingin memberi petuah. L'art pour l'art, seni untuk seni. Ukurannya kedapatan dalam dirinya sendiri."
Rupanya pengertian seni dalam padanan art tadi mulai diperkenalkan dan dipakai di lingkungan kaum intelektual zaman itu, meskipun tampak bahwa kata yang sama masih dipergunakan dalam pengertian aslinya, yakni kecil. Dalam zaman sesudah kemerdekaan, kata seni untuk art semakin sering dipergunakan, dan menjadi pengertian art secara resmi sampai sekarang. Bahkan pada tahun 1955 ada majalah khusus yang dinamai Seni, meskipun usianya hanya satu tahun.

Dalam bahasa Melayu-Rendah yang berlaku di lingkungan pers peranakan Cina, tidak dikenal kata seni untuk art. Dalam majalah Sin Po,25 Juli 1931, dalam artikel berjudul 'Raden Saleh', masih dipakai kata menggambar Indonesier. Kadang juga dipergunakan kata tukang teeken atau satu schilder. Dipakai juga sebutan untuk tukang ukir patung dan tukang nyanyi kroncong. Jadi, padanan Melayu-Rendah untuk kata seni adalah tukang.

Dalam bahasa Jawa pun dipergunakan pengertian tukang bagi pekerja seni, tak beda dengan tukang kereta, tukang besi, dan tukang emas. Menurut Prof.Dr. Sudjoko, dalam bahasa Jawa dikenal kata kagunan atau pakaryan untuk jenis seni ini.Dalam kamus Belanda-Melayu susunan Klinkert,seni alias kunst mempunyai pengertian hikmat, ilmu, pengetahuan, kepandaian, ketukangan. Ini sesuai dengan pengertian art dalam bahasa Inggris yang juga berarti art is skill in making or doing ('Art and The Arts',The World Book Encyclopedia). Di sini seni lebih menunjuk kepada pengertian perbuatan atau keterampilan, bukan pengetahuan.

Memang dalam kenyataannya, kata art dapat berarti keterampilan (skill), aktivitas manusia, karya (work of art), seni indah (fine art),dan seni rupa (visual art). Inilah sebabnya orang dapat berbicara tentang seni pengobatan, seni memasak, seni perang, seni berdagang, seni manajemen. Bahkan seluruh hidup kita ini juga suatu 'seni'.

Tentu saja seni sebagai keterampilan, keahlian, dan perbuatan untuk menghasilkan sesuatu tidak lahir begitu saja. Untuk menguasai suatu keterampilan, seseorang harus berpengetahuan terlebih dahulu. Untuk menjadi tukang kereta, seseorang tidak dilahirkan sebagai ahli kereta, tetapi harus belajar, berpendidikan perkeretaan. Dan setiap pendidikan selalu melibatkan teori dan praktek, pengetahuan dan latihan. Orang baru dapat berpraktek setelah berpengetahuan. Lama kelamaan, keserasian antara teori dan praktek akan membentuk suatu insting, suatu sikap dasar keterampilan. Dan kalau sikap dasar keterampilan ini telah dimiliki, orang tinggal memilih menjadi 'tukang' sebenarnya, yang  bekerja berdasarkan ilmu yang diperolehnya, atau menjadi seorang yang kreatif. Yang terakhir inilah yang menyangkut pengertian 'seni'.

Kembali kepada asal kata 'seni' dalam bahasa Indonesia, pengertiannya tampak menjadi aneh.Pengertian 'kecil' (perasaan seni,burung seni) untuk mewakili pengertian 'tukang' atau 'perbuatan' kemudian tampak janggal dan membingungkan. Aktivitas keterampilan yang dikenakan kepada art atau kunst tak ada hubungannya sama sekali dengan pengertian 'kecil'. Mengapa R.D. dulu memilih kata itu untuk kunst?

Kalau pengertian keterampilan fisik saja tak termuat dalam kata seni itu, bagaimana bisa kandungan pengertian kreatif dapat dimasukkan ke dalamnya? Tetapi, begitulah adanya sejarah kata seni kita. Kata itu telah menjadi kosa kata yang baku. Untuk mengubahnya tentu kecil sekali kemungkinannya. Dan untuk apa? Mawar pun tetap mawar meskipun namanya diganti bukan mawar. Kata 'seni' dalam pengertian trampil dan kreatif terpaksa harus diterima, karena kenyataan sejarahnya memang demikian.

Apakah Seni itu?

Apa yang disebut 'seni' memang merupakan suatu wujud yang terindera. Karya seni merupakan sebuah benda atau artefak yang dapat dilihat, didengar, atau dilihat dan sekaligus didengar (visual,audio,dan audio-visual), seperti lukisan, musik, dan teater. Tetapi, yang disebut seni itu berada di luar benda seni sebab seni itu berupa nilai. Apa yang disebut indah, baik, adil, sederhana,dan bahagia itu adalah nilai. Apa yang oleh seseorang disebut indah dapat tidak indah bagi orang lain.

Nilai itu sifatnya subjektif, yaitu berupa tanggapan individu terhadap sesuatu (di sini, benda seni atau objek seni) berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Tanggapan individu terhadap suatu benda seni akan membangkitkan kualitas nilai tertentu sesuai dengan nilai-nilai seni yang dikenal dan dialami si individu. Tentu saja hal ini baru terjadi kalau benda seni itu sendiri memang mengandung atau menawarkan nilai-nilai objektifnya. Sebuah penelitian antropologis di suatu negara Afrika menunjukkan bahwa nilai-nilai seni itu baru muncul kalau penanggap seni punya pengalaman dan pengetahuan yang dikandung oleh benda seni. Sebuah karya Beethoven diputar di depan anak-anak Afrika yang sekolah setingkat SMU,dan ternyata beberapa anak dapat menikmati musik itu. Tetapi,ketika karya musik yang sama diputar di depan penduduk pedesaan yang sama sekali belum pernah berhubungan dengan budaya Barat, banyak yang tidak dapat menilai apakah itu musik sedih atau gembira. Mereka tahu bahwa itu musik, namun mereka tak ada yang tahan mendengarkannya sampai habis.

Dalam hal ini kiranya jelas bahwa apa yang disebut seni itu baru 'ada' kalau terjadi dialog saling menberi dan menerima antara subjek seni (penanggap) dengan objek seni ( benda seni). Inilah yang disebut 'relasi seni'. Dalam istilah lain dikatakan kalau terjadi 'jodoh' antara penanggap dan benda seni. Dengan demikian, nilai seni hanya terdapat di dalam suatu wacana. Apa yang disebut seni arsitektur masyarakat Cina berbeda dengan seni arsitektur orang Jawa atau orang Yunani Purba. Kalau demikian, apakah nilai seni itu berbeda-beda menurut tempat dan zamannya? Jawabannya dapat tidak dan ya. Tidak, karena nilai-nilai seni itu muncul dari benda seni dengan material seni atau bahan seni yang sama. Seni musik di mana pun dan kapan pun mendasarkan diri pada material seni berupa bunyi, sedangkan seni lukis berupa bahan warna, seni tari materialnya gerak tubuh manusia. Perbedaannya terletak dalam memperlakukan material seni itu. Untuk itu, marilah kita lihat hubungan antara nilai seni dan material.

Material seni dipilih seniman untuk diolah menjadi medium seni.Misalnya,pelukis memilih cat. Cat ini diolah dalam aspek-aspek mediumnya, seperti warna, tekstur, torehan, garis, bangun, dan lain-lain. Medium ini diolah lagi menjadi wujud-wujud tertentu yang bersifat mimesis (meniru alam) atau ekspresi imajinatif atau abstrak. Pengolahan wujud ini dituntun oleh si gagasan pelukisnya. Dan gagasan itu muncul dalam diri seniman akibat tanggapan atau perhatiannya terhadap suatu objek (subject matter). Dari uraian di atas jelaslah bahwa apa yang disebut nilai seni terdapat pada tahap pengolahan dan hasil pengolahan medium seni, wujud seni, dan isi seni. Dengan demikian, kita sampai pada kesimpulan bahwa nilai seni itu terletak pada aspek wujud dan isi (content) benda seni.

Dalam hal ini, setiap bidang seni memiliki material seninya masing-masing yang jelas berbeda-beda. Material seni mengandung kekayaan mediumnya sendiri-sendiri pula. Dan setiap material seni mengandung kekayaan kemungkinan-kemungkinannya sendiri dan juga berbagai keterbatasan mediumnya, sehingga seni tari berbeda dengan seni lukis, seni sastra berbeda dengan seni film. Gagasan yang muncul dari seorang sastrawan akan melahirkan dua bentuk seni yang berbeda, baik secara isi maupun bentuknya. Inilah sebabnya sebuah karya novel yang bermutu sering menjadi sebuah karya film yang kurang bermutu, atau sebaliknya. Tetapi yang jelas, setiap karya seni,apa pun bidangnya,dapat dilihat dari aspek bentuk dan isinya. Di sini kita bisa bicara tentang nilai-nilai bentuk seni dan isi seni.

Yang pertama kita tangkap dari sebuah benda seni adalah nilai bentuk seninya.Bentuk ini diwujudkan oleh material-medium seninya masing-masing, sehingga kita segera tertarik oleh daya pesona inderawinya (warna,bunyi). Inilah nilai seni yang bersifat kualitas empiris, yang setiap orang dapat memberikan tanggapan berbeda-beda (nilai subjektif).Dan perbedaan nilai ini mulai bertambah lagi ketika wujud-wujud inderawi yang ada pada benda seni itu kita lihat susunan atau penempatannya; dengan kata lain: strukturnya. Benda seni itu sendiri terdiri dari unsur-unsur bentuknya dalam struktur tertentu,tetapi tanggapan orang dapat berbeda-beda pula dalam menyusun struktur subjektifnya (nilai struktur). Aktivitas restrukturisasi benda seni oleh penanggap ini akan melahirkan tafsir isi seni yang berbeda-beda pula.

Apakah yang dimaksud dengan isi seni itu?Yang dimaksud di sini adalah 'isi jiwa' seniman yang terdiri dari perasaan dan intuisinya, pikiran dan gagasannya. Sebuah benda seni secara simultan memberikan kesatuan nilai-nilai melalui bentuknya. Melalui bentuk itulah tertangkap isi. Dalam hal ini ada dua aliran besar dalam aliran seniman, yakni bahwa isi tidak penting dalam benda seni, yang paling penting adalah bentuk demi bentuk itu sendiri. Inilah aliran disinterestedness (ketanpapamrihan) atau secara populer dikenal dengan semboyan 'seni untuk seni'. Sementara itu, aliran yang lain menekanken aspek isi ini dalam seni, bahwa seni itu selalu mempersoalkan nilai-nilai hidup lingkungan manusia.

Dengan demikian, sebuah benda seni disebut sebagai seni kalau sudah berada di tangan penanggap seni. Seni itu masalah komunikasi, masalah relasi nilai-nilai. Sebuah benda akan disebut seni kalau melahirkan relasi seni berupa munculnya berbagai nilai dari benda tersebut. Sebuah sadel sepeda tiba-tiba dapat menjadi sebuah patung di tangan seniman Picasso, karena seniman ini menawarkan nilai-nilai bentuk yang membawa penanggap pada isi kualitas yang dimiliki oleh seekor banteng.

Nilai itu selalu bersifat subjektif fan karenanya selalu bersifat historis. Nilai itu amat tergantung dari tempat dan zamannya. Nilai itu bersifat kontekstual.Apa yang pada tahun 1920, suatu perbuatan dinilai tidak sopan, misalnya gadis naik sepeda, maka pada masa sekarang hal itu dinilai wajar saja. Begitu pula sebuah sajak Pujangga Baru pada tahun 1930-an bernilai seni tinggi, pada masa sekarang mungkin banyak yang dinilai kurang memadai lagi. Bahwa nilai seni itu juga konstektual, dapat ditinjau dari segi bentuk dan isinya. Bentuk seni yang konstektual itu disebut idiom seni sezaman, yakni bagaiman isi seni biasanya diwujudukan dalam sebuah bentuk seni, dan isi seni itu sendiri jelas membawa nilai-nilai masyarakat sezamannya. Dalam benda seni terbawa nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat si seniman, entah seniman menyetujui nilai-nilai masyarakatnya, menolaknya, atau memberi tafsir baru atas nilai- nilai tersebut. Inilah pentingnya mengapa seorang penanggap atau seniman perlu mempelajari  sejarah seni bidangnya. Dari pengetahuan ini dia akan lebih mampu menciptakan nilai-nilai baru atau bagi penanggap akan lebih memudahkan menemukan nilai-nilai dalam benda seni yang dihadapi. Meskipun nilai seni itu kontekstual secara bentuk dan isi, namun ada pula nilai-nilai yang sifatnya universal melewati batas waktu dan tempat. Ini karena struktur jiwa manusia itu sepanjang sejarahnya tetap sama. Dan, karena benda seni merupakan bentuk ungkapan manusia, tentu terbawa pula karakteristik kejiawaan manusia dari zaman apa pun. Dengan demikian, persoalan nilai kontekstual dan universal dalam seni adalah persoalan seniman itu sendiri, apakah dia mampu melihat aspek-aspek nilai universal ketika menanggapi masalah-masalah nilai konteksnya. Embrio nilai isi seni itu selalu kontekstual, dan seniman yang sejati selalu berusaha melihat persoalan kontekstual itu secara universal dalam arti selalu berusaha melihat nilai hakiki masalahnya. Benda-benda seni yang demikian itulah yang akan abadi.

Dikutip dari buku Filsafat Seni

No comments:

Post a Comment

Penjelasan dan Panduan Menggambar

Menggambar merupakan kegiatan yang pastinya sudah dilakukan sejak kecil bukan? Jadi,sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan menggambar i...